
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) merupakan organisasi kepemudaan yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), dengan tujuan utama untuk membina dan memberdayakan pemuda Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Sejarah berdirinya GP Ansor tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial-politik bangsa Indonesia serta kebutuhan untuk menghadirkan pemuda Islam yang militan, berakhlak, dan memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.
Cikal bakal GP Ansor bermula pada tahun 1924 dengan berdirinya Syubbanul Wathan, sebuah organisasi pemuda Islam yang aktif dalam kegiatan keagamaan dan kebangsaan. Organisasi ini dipelopori oleh tokoh muda Nahdliyin seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah dan kawan-kawan. Mereka merasa perlu membentuk wadah kaderisasi pemuda yang mampu menjawab tantangan zaman dan membela agama serta bangsa.
Pada 24 April 1934, Syubbanul Wathan meleburkan diri ke dalam organisasi baru bernama Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang lebih terorganisir dan secara resmi menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. ANO menjadi fondasi penting dalam pergerakan pemuda NU, dan pada masa itu telah banyak melakukan konsolidasi dan pendidikan kader untuk menghadapi tantangan kolonialisme dan arus modernisasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai keislaman tradisional.
Namun karena dinamika organisasi dan politik pada masa penjajahan, aktivitas ANO sempat mengalami penurunan. Baru setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1949, organisasi ini direvitalisasi dan diresmikan kembali dengan nama Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Sejak saat itu, GP Ansor menjadi organisasi resmi di bawah NU yang berfokus pada kaderisasi dan penguatan peran pemuda dalam kehidupan keagamaan, kebangsaan, dan sosial.
Peran GP Ansor semakin menonjol ketika organisasi ini membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang awalnya merupakan bagian dari laskar perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan. Banser kemudian berkembang menjadi satuan pengamanan dan sosial GP Ansor yang dikenal karena kedisiplinannya, keterlibatannya dalam bantuan bencana, serta pengamanan kegiatan keagamaan.
Selama era Orde Baru, GP Ansor menghadapi tantangan besar, terutama karena tekanan terhadap organisasi keagamaan dan sosial-politik yang dianggap tidak sejalan dengan kekuasaan. Meski begitu, GP Ansor tetap bertahan dan terus melakukan kaderisasi serta pendidikan kebangsaan kepada generasi muda. Ini menjadi bukti kekuatan ideologis dan kultural organisasi yang tetap eksis di tengah keterbatasan ruang gerak politik.
Memasuki era Reformasi, GP Ansor bangkit sebagai kekuatan muda NU yang lebih progresif. Organisasi ini mulai terlibat lebih aktif dalam wacana demokrasi, pluralisme, toleransi antarumat beragama, serta perlawanan terhadap radikalisme. Sejumlah program kaderisasi seperti PKD (Pelatihan Kepemimpinan Dasar), PKL (Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan), hingga Susbalan dan Susbanpim menjadi program unggulan dalam mencetak kader-kader militan dan cerdas.
GP Ansor juga menjadi pelopor dalam gerakan Islam Nusantara, sebuah pendekatan dakwah Islam yang ramah, menghargai budaya lokal, dan menolak ekstremisme. Pendekatan ini menjadikan GP Ansor sebagai salah satu benteng utama dalam menjaga keutuhan NKRI dan memperkuat wawasan kebangsaan generasi muda.
Hingga hari ini, GP Ansor terus berkembang dan memiliki cabang di hampir seluruh pelosok Indonesia. Organisasi ini telah melahirkan banyak tokoh nasional dari berbagai bidang—politik, keagamaan, akademisi, hingga pengusaha—yang tetap berkomitmen pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah dan kebangsaan.
Dengan semangat “Bergerak Bersama Umat”, GP Ansor terus meneguhkan dirinya sebagai organisasi pemuda yang tidak hanya berperan dalam dakwah dan sosial, tetapi juga menjadi garda depan dalam membela nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keutuhan bangsa Indonesia.